Saya mengawali
tulisan pertama ini dengan mengulas kembali apa saja yang menjadi realita
kehidupan sehari-hari, yang pada khususnya membahas antara ideology yang
menjadi landasan tujuan negara dengan suatu pemenuhan gaya hidup yang tidak
seimbang jika itu di pertukarkan. Berkaitan dengan hal tersebut saya juga ingin
merefleksikan kembali capaian dan nilai-nilai nasionalisme yang seharusnya bisa
menjadi penggerak untuk kita menjadi pribadi yang lebih baik dalam meneruskan
cita-cita para pejuang bangsa, yang biasanya tergambar dari antusias dan
sejumlah seremoni yang ada pada bulan nasionalisme ini yaitu Agustus membara.
Ideology
merupakan suatu fondasi utama, benteng, tiang penyangga dari suatu tindakan dan
usaha yang akan dilakukan oleh seseorang dalam meraih apa yang menjadi mimpi
dan tujuan hidupnya. Berikutnya, ideology juga merupakan suatu hasil pemikiran,
cipta, rasa dan keyakinan yang di percaya bisa membawa suatu perubahan jika hal
tersebut dilakukan. Begitu juga dengan ideology Pancasila yang menjadi bintang
penuntun bagi terciptanya persatuan, kesejahteraan, keadilan serta perdamaian
abadi bagi seluruh rakyat Indonesia dalam meraih segala cita-cita yang di
impikannya.
Begitu juga
dengan usaha dan proses panjang yang di lakukan oleh para pejuang dalam
menyusun kemerdekaan, sehingga saat ini kita bisa merasakan hasil dan berbagai
kemudahan dalam menjalankan rutinitas kita sehari-hari. Kesaktian dan
sumbangsih ideology Pancasila terhadap capaian yang kini bisa kita nikmati, tampaknya
juga tidak perlu di ragukan lagi. Hal tersebut menjadi bukti yang nyata bahwa
Pancasila merupakan ideology dari hasil karya nusantara yang di anugrahkan
Tuhan YME untuk negara kita Indonesia tercinta, sekaligus sebagai simpul dalam
menghadapi berbagai persoalan. Tetapi tampaknya saat ini Pancasila sebagai
ideology bangsa hanya menjadi sebuah simbolisasi, bahkan tag line semata dalam memframing suatu citra yang ingin di tonjolkan
oleh beberapa personal ataupun kelompok kepentingan. Pancasila yang dulu
menjadi agung dan di eluh-eluhkan, kini hanya menjadi suatu lelucon dalam
sebuah adegan drama dan hiburan. Menjadi alat dalam menyudutkan seseorang,
menjadi bahan wacana dalam meraih simpati janji kepentingan dan terlebih lagi,
Pancasila kini hanya menjadi suatu lagu-laguan di kalangan pelajar (itupun
kalau semua ingat dan hafal) serta pengukur uji kelayakan. Sangat miris sekali,
seolah perjuangan para pahlawan rela hanya di bayar dengan senyum lelucon
generasi penerus bangsa. Andai mereka tau bagaimana proses perjuangan itu
diraih, andai kata mereka tau bagaimana ibu pertiwi merintih menangis, dan
andai mereka (pahlawan nasional) tau bagaimana kelakuan anak cucunya dalam
meneruskan cita-cita tujuan bangsanya, niscaya usaha titik nadir itu tidak akan
diteruskan hingga batas akhirnya.
Di satu sisi,
pesatnya teknologi dan perkembangan zaman juga menjadi penanda dan aspek
penting yang tidak bisa kita hindarkan. Kehidupan terus melaju dengan segala
perubahannya, artinya semua itu bergerak dinamis mengikuti arus perkembangan
yang ada. Mulai dari ilmu pengetahuan, cara pandang seseorang, sektor mata
pencaharian, bentuk komunikasi, politik, budaya bahkan sampai gaya hidup juga
tidak terlepas dari pesatnya perkembangan zaman. Banyaknya inovasi yang
dilakukan oleh generasi milenial saat ini menjadikan angin segar dalam me recall kebudayaan dan identitas yang
selama ini dianggap usang oleh banyak orang. Dan hal tersebut tampaknya menjadi
suatu formula yang pas dalam upaya memperkenalkan kembali tentang potensi yang
kita miliki. Tetapi disatu sisi
yang lain, perkembangan zaman dan
teknologi yang pesat ini juga memunculkan generasi sampah dan pola pikir yang
salah dalam memahami dasar negara dan ideology bangsa. Setidaknya negara
telah mencatat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penyelewengan
ideologi bangsa, mulai dari artis yang terjerat masalah hukum akibat menghina
symbol dan lambang negara, menjadikan ideologi negara (Pancasila) sebagai bahan
lelucon dan hiburan semata, munculnya konten negative/radikalisme di media
social, penggadaian identitas hanya untuk mendapatkan respon dan perhatian
bahkan sampai menjadikan pembahasan ideologi sebagai upaya dalam pemenuhan
kepentingan personal tanpa ada kejelasan dan kualifikasi khusus dalam
membahasnya. Terlepas dari semua itu saya yakin masih banyak
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pengimplementasian nilai-nilai
pancasila dalam kehidupan kita sehari-hari. Disinilah letak permasalahan yang
menjadi perhatian dan focus pembahasan Bersama. Seharusnya dengan semakin
majunya teknologi dan perkembangan zaman, maka semakin maju pula pola pikir dan
peradaban manusia. Hal tersebut di tunjukkan melalui proses rasionalisasi yang
mendalam untuk bisa menentukan mana yang baik dan mana yang benar,
pengklasifikasian dan pengidentifikasian apa saja yang menjadi kekuatan dan
hambatan, meningkatnya kesadaran diri dan budaya malu dalam setiap
masing-masing individu serta meningkatnya kesadaran dalam menjalankan aturan
dan perannya di lingkungan masyarakat.
Menjadi modern
tidak berarti menjadi bebas tanpa kendali, menjadi liar dalam teknologi. Tetapi
menjadi modern merupakan intuisi yang harus di ikuti sebagai bekal sekaligus
penanda dalam mengikuti kontestasi yang disuguhkan oleh beragamnya kenyataan
hidup ini, tentunya dengan cara yang tidak berseberangan dengan hukum dan
penerapan ideologi dasar negara. Kemunculan berbagai fitur berbasis social
media serta penggunaan teknologi lainnya seharusnya menjadi modal yang utama
dalam menghimpun semangat dan kekuatan baru untuk memperkuat nilai-nilai
nasionalisme. Peran anak muda dengan berbagai kemampuan dan kreatifitasnya di
yakini sebagai komposisi yang sangat ideal dalam mewujudkan negara yang
berdaulat, mandiri dan berkharakter jati diri Indonesia. Semoga ulasan ringan
ini bisa menjadi triger untuk kita kembali memahami dan mengimplementasikan
nilai dasar negara dalam kehidupan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar