Jerat Hukum dan Pilihan Rasional Pelaku Korupsi
Selain gosip
selebriti, Ternyata ada juga pembahasan abadi yang tak pernah habis untuk
dibicarakan, pembahasan itu adalah korupsi. Tindak korupsi bisa saya analogikan
seperti halnya sebuah tempat yang banyak memiliki jenis dan variant makanan,
mulai dari makanan yang berbeda sampai jenis makanan yang sama. Mulai dari yang
kelas ringan sampai pada yang kelas berat. Begitu pula dengan korupsi, mulai
dari tingkatan sederhana sampai pada tingkatan kompleks. Mulai dari masalah
yang biasa sampai masalah kelas kakap. Hampir diseluruh dunia, korupsi menjadi
permasalahan utama yang sampai saat ini sangat susah untuk dihentikan. Beragam
cara sudah dilakukan, mulai dari himbauan dan pantauan masyarakat, aturan yang
tegas dan mengikat, sanksi dikeluarkannya seseorang dari pekerjaannya sampai
jerat hukum yang memaksa. Tetapi tetap saja tidak membuahkan hasil yang
optimal, justru malah menjadi semakin parah. Korupsi merupakan suatu virus yang
sangat mudah menjalar pada setiah tubuh manusia. Efek yang terjadi adalah
kelumpuhan dan ketidaksadaran secara perlahan. Jika hal tersebut dibiarkan,
sudah bisa dipastikan tubuh seseorang tersebut akan hancur. Begitu juga dengan
perilaku tindakan korupsi yang terjadi di Indonesia ini, jika tidak segera di
dicegah dan diobati maka sudah barang tentu negara ini akan hancur secara
perlahan karena ulah korupsi itu sendiri.
Tingkatan dan
rasionalisasi pelaku korupsi
Korupsi berasal
dari bahasa latin yaitu corruptio/corrumpere
yang berarti busuk, rusak, memutarbalikkan. Secara harafiah korupsi adalah tindakan
yang dilakukan oleh seseorang dengan menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan
secara tidak sah demi keuntungan pribadi/kelompok. Berarti dalam pembahasan ini
yang menjadi kata kuncinya adalah “kekuasaan dan kewenangan secara tidak sah
demi keuntungan pribadi/kelompok.” Korupsi bisa dikatakan sebagai salah satu
penyimpangan sosial yang harus disadarkan dan menjadi tanggung jawab bersama. Adapun
beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi koruptor yaitu pengaruh globalisasi.
tidak adanya perhatian dan apresiasi yang diberikan, hilangnya nilai-nilai
agama, moral dan etika serta banyak lagi yang lainnya. Korupsi juga memiliki
tingkatan yang berbeda-beda dalam setiap aksinya, pada tingkatan yang sederhana
yaitu pada tingkatan Batrayal of trust (tingakat
kepercayaan). Kepercayaan merupakan modal utama dalam melakukan interaksi dan
kontrak sosial antara orang yang satu dengan orang yang lain, tanpa kepercayaan
sepertinya mustahil untuk bisa mewujudkan suatu kesepakatan. Dalam banyak
permasalahan, tingkatan kepercayaan inilah yang bisa dengan mudah untuk
dilakukan. Tidak membutuhkan jabatan/kekuasaan, hanya membutuhkan keterampilan
dalam pengolahan kata-kata. Jika dalam tingkatan yang sederhana semua orang
bisa melakukan (termasuk anak kecil) maka tentu bisa dipastikan hal ini akan
menjadi sebuah kebiasaan yang membawa dampak buruk bagi pelaku dan lingkup
sekitarnya. Berikutnya pada tingkatan Abuse
power. Suatu tingkat yang menekankan pada status/jabatan yang dimiliki oleh
seseorang dalam melakukan tindakan korupsi. Tidak dipungkiri bahwasanya status
atau jabatan yang dimiliki oleh seseorang turut menentukan kebijakan dan
kekuasaan yang dimilikinya. seperti halnya yang dilakukan oleh seorang bupati
di suatu wilayah, karena memiliki jabatan yang tertinggi dia bisa melakukan
tindakan semaunya. Termasuk tindakan korupsi. Saya rasa hal tersebut sudah
banyak dilakukan oleh pemimpin atau petinggi di Indonesia ini. secara tidak langsung,
jabatan yang dimiliki oleh seseorang merupakan suatu pembagian kelas yang
dimiliki antara penguasa dengan bawahannya. Penguasa memiliki wewenang, bawahan
memiliki kesadar. Sehingga dengan demikian status atau jabatan inilah yang
menjadi kekuasaan sebagai batasan, sekaligus pendorong dalam melakukan
tindakan. Dan yang terakhir adalah Material
Benefit. Korupsi pada level ini merupakan tingkatan yang paling tinggi dan
umumnya terjadi di indonesia. Tidak hanya lagi membahas tentang kekuasaan dalam
mendapatkan suatu hal yang di inginkan, melainkan sudah menjalar sampai
pemenuhan barang dan meteri yang menurutnya memiliki nilai nominal yang tinggi.
Rasionalisasi dalam
perspektif sosiologi
Dalam perspektif
sosiologis, maraknya tindakan korupsi yang terjadi di Indonesia ini bisa dikaji
melalui pendekatan-pendekatan ilmiah. Meminjam istilah dari marx weber tentang verstehende atau teori tindakan
rasional, alasan seseorang melakukan tindakan korupsi dipengaruhi oleh beberapa
hal. Pertama, tindakan yang dilakukan
secara terukur dan rasional (zweck
rational). Tentunya, masing-masing tindakan yang akan dilakukan oleh
seseorang memiliki tujuan dan maksud tersendiri. Untuk bisa menjalankan
aksinya, seseorang juga harus bisa memperhitungkan dan mempertimbangan secara
matang tentang hasil kesusksesan yang akan akan diterimanya. Jika keberhasilan
jauh lebih besar dibandingkan usaha dan resiko, maka sudah tentu bisa
dipastikan seseorang tersebut memiliki peluang lebbih besar untuk melakukan dan
berpengharapan sukses, tetapi jika sebaliknya maka hal tersebut akan
berpengaruh pada niat dan usaha si pelaku. Dalam hal ini keberhasilan masa lalu
juga memiliki peranan besar untuk seseorang melakukan suatu tindakan. Semakin
sering sesorang memiliki keberhasilan di masa lalu maka juga semakin besar
seoserang melakukan tindakan yang sama di masa yang akan datang. Dan hal itu
sangat relevan dengan potret dan gambaran nyata pelaku tindak korupsi di
Indonesia ini. Berbicara tentang keberhasilan masa lalu secara tidak langsung
juga membahas alat dan kekuasaan negara. Dalam hal ini hukumlah yang menjadi
fokus dalam pembahasan ini. Keberhasilan masa lalu diartikan sebagai proses
hukum yang ada dalam suatu negara. Jika kenyataan bisa dibeli dengan materi
apakah masih pantas kita berbicara hukum ? tentunya hukum tidak memihak kepada
benar atau yang salah melainkan memihak kepada kenyataan yang ada. Dengan kata
lain sistem dan kekuatan hukum di Indonesia belum secara optimal mengayomi dan
melindungi kebenaran fakta dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, tindakan yang dipengaruhi
oleh nilai (wert rational). Umumnya,
nilai yang berkembang di masyarakat merupakan hasil kesepakatan bersama dalam
hal kebaikan yang berisikan nilai spiritual, moral dan etika. karena ditempa
dari proses yang panjang dalam memperkenalkan norma sosial di kehidupan kita
sehari-hari, hal tersebut kemudian membentuk suatu kebiasaan dan menjadikan itu
sebagai identitas masyarakat Indonesia. Misalnya saya hendak pergi kesuatu
tempat dengan menggunakan moda transportasi umum, di tengah perjalanan ada
seorang nenek-nenek atau wanita hamil. Maka sudah menjadi sikap saya untuk
memberikan tempat duduk yang seharusnya saya duduki meskipun sama-sama membayar
dan memiliki hak yang sama. Di sinilah penjelasan dari nilai tersebut. Tetapi
yang saat ini menjadi persoalan adalah, kesepakatan untuk menggunakan
nilai-nilai yang negatif sebagai upaya untuk memperkaya atau menguntungkan diri
sendiri. Seiring berjalannya waktu, perubahan dan perkembangan masyarakatnya
pun juga bergeser menuju perkembangan masyarakat yang baru. Entah dengan
kebiasaanya, gaya hidupnya atau pemikirannya. Hal inilah tampaknya yang juga
mempengaruhi nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat untuk bisa melakukan
upaya pemenuhan kebutuhan diri sendiri dengan mengambil hak orang lain. Dengan
kata lain, sikap dan tindakan yang dilakukan oleh koruptor merupakan akumulasi
dari kebiasaan yang salah dalam memaknai nilai-nilai sosial yang berkembang di
masyarakat luas. Dan kebiasaan tersebut semakin berjaya karena didukung oleh
sistem hukum dan kontrol masyarakat yang lemah.
Ketiga, tindakan yang
dipengaruhi oleh emosi atau perasaan (affectual).
Emosi atau perasaan merupakan sebuah intuisi yang dimiliki oleh masing-masing
individu untuk menggambarkan maksud dan keinginan tertentu yang bersumber dari
nurani. Emosi atau perasaan bisa dianalogikan sebagai tentakel yang sangat
sensitif karena menerima perubahan dari lingkungannya. Begitu pula dengan tindakan yang dilakukan oleh seseorang baik
dalam konteks baik atau buruk, salah atau benar. Selain dari rasional dan nilai
yang berkembang di masyarakat luas, faktor emosi atau perasaan juga turut
memberikan sumbangan terbesar dalam memunculkan suatu tindakan. dan yang
terakhir adalah traditional. Yaitu
tindakan yang dilakukan berdasarkan kepercayaan atau mitos yang berkembang di
lingkungan sekitar orang tersebut berada. Mistos, merupakan bentuk komunikasi
yang tidak mementingkan objektivitas dan kebenaran dari kenyataan, melainkan
sebuah komunikasi yang hanya menginginkan berjalannya aturan dan perintah yang
dibentuk sebelumnya tanpa ada perubahan sedikitpun. Dalam hal ini, tindakan
korupsi yang dilakukan
oleh oknum juga dpengaruhi oleh adanya stigma sebelumnya bahwa penguasa yang
pintar adalah penguasa yang bisa memanfaatkan power dan keduduknya termasuk
dalam upaya pemenuhan kebutahan pribadi meskipun dilakukan dengan cara yang
tidak sah. Hal tersebut bisa saja terjadi karena pelaku korupsi menganggap
capaian yang diperoleh saat ini tidak lain dan tidak bukan merupakan hasil usaha
pada waktu pencalonan kampanye dulu, dan ditempatkan sebagai upaya untuk
mengganti kerugian atas pengorbanan yang sudah di lakukan. Sehingga secara
general tujuan dan tindakan yang dilakukan oleh koruptor bukan pada pengabdian
atas negara, melainkan rasioanalisasi dari kepentingan pribadi yang dilengkapi
dengan kalkulasi untung rugi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar