Socioculture merupakan suatu pembahasan general yang mengulik realita kehidupan sehari-hari dengan cara sederhana namun mendalam. Melalui pembahasan ini diharapkan bisa memberikan pengetahuan, perspektif dan pemahaman yang berbeda sebagai komponen pelengkap dalam memetakan setiap tindakan yang ada pada lingkungan masyarakat.

Sosiolog berkata


Jerat Hukum dan Pilihan Rasional Pelaku Korupsi

Selain gosip selebriti, Ternyata ada juga pembahasan abadi yang tak pernah habis untuk dibicarakan, pembahasan itu adalah korupsi. Tindak korupsi bisa saya analogikan seperti halnya sebuah tempat yang banyak memiliki jenis dan variant makanan, mulai dari makanan yang berbeda sampai jenis makanan yang sama. Mulai dari yang kelas ringan sampai pada yang kelas berat. Begitu pula dengan korupsi, mulai dari tingkatan sederhana sampai pada tingkatan kompleks. Mulai dari masalah yang biasa sampai masalah kelas kakap. Hampir diseluruh dunia, korupsi menjadi permasalahan utama yang sampai saat ini sangat susah untuk dihentikan. Beragam cara sudah dilakukan, mulai dari himbauan dan pantauan masyarakat, aturan yang tegas dan mengikat, sanksi dikeluarkannya seseorang dari pekerjaannya sampai jerat hukum yang memaksa. Tetapi tetap saja tidak membuahkan hasil yang optimal, justru malah menjadi semakin parah. Korupsi merupakan suatu virus yang sangat mudah menjalar pada setiah tubuh manusia. Efek yang terjadi adalah kelumpuhan dan ketidaksadaran secara perlahan. Jika hal tersebut dibiarkan, sudah bisa dipastikan tubuh seseorang tersebut akan hancur. Begitu juga dengan perilaku tindakan korupsi yang terjadi di Indonesia ini, jika tidak segera di dicegah dan diobati maka sudah barang tentu negara ini akan hancur secara perlahan karena ulah korupsi itu sendiri.

Tingkatan dan rasionalisasi pelaku korupsi
          Korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio/corrumpere yang berarti busuk, rusak, memutarbalikkan. Secara harafiah korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan secara tidak sah demi keuntungan pribadi/kelompok. Berarti dalam pembahasan ini yang menjadi kata kuncinya adalah “kekuasaan dan kewenangan secara tidak sah demi keuntungan pribadi/kelompok.” Korupsi bisa dikatakan sebagai salah satu penyimpangan sosial yang harus disadarkan dan menjadi tanggung jawab bersama. Adapun beberapa faktor yang menyebabkan seseorang menjadi koruptor yaitu pengaruh globalisasi. tidak adanya perhatian dan apresiasi yang diberikan, hilangnya nilai-nilai agama, moral dan etika serta banyak lagi yang lainnya. Korupsi juga memiliki tingkatan yang berbeda-beda dalam setiap aksinya, pada tingkatan yang sederhana yaitu pada tingkatan Batrayal of trust (tingakat kepercayaan). Kepercayaan merupakan modal utama dalam melakukan interaksi dan kontrak sosial antara orang yang satu dengan orang yang lain, tanpa kepercayaan sepertinya mustahil untuk bisa mewujudkan suatu kesepakatan. Dalam banyak permasalahan, tingkatan kepercayaan inilah yang bisa dengan mudah untuk dilakukan. Tidak membutuhkan jabatan/kekuasaan, hanya membutuhkan keterampilan dalam pengolahan kata-kata. Jika dalam tingkatan yang sederhana semua orang bisa melakukan (termasuk anak kecil) maka tentu bisa dipastikan hal ini akan menjadi sebuah kebiasaan yang membawa dampak buruk bagi pelaku dan lingkup sekitarnya. Berikutnya pada tingkatan Abuse power. Suatu tingkat yang menekankan pada status/jabatan yang dimiliki oleh seseorang dalam melakukan tindakan korupsi. Tidak dipungkiri bahwasanya status atau jabatan yang dimiliki oleh seseorang turut menentukan kebijakan dan kekuasaan yang dimilikinya. seperti halnya yang dilakukan oleh seorang bupati di suatu wilayah, karena memiliki jabatan yang tertinggi dia bisa melakukan tindakan semaunya. Termasuk tindakan korupsi. Saya rasa hal tersebut sudah banyak dilakukan oleh pemimpin atau petinggi di Indonesia ini. secara tidak langsung, jabatan yang dimiliki oleh seseorang merupakan suatu pembagian kelas yang dimiliki antara penguasa dengan bawahannya. Penguasa memiliki wewenang, bawahan memiliki kesadar. Sehingga dengan demikian status atau jabatan inilah yang menjadi kekuasaan sebagai batasan, sekaligus pendorong dalam melakukan tindakan. Dan yang terakhir adalah Material Benefit. Korupsi pada level ini merupakan tingkatan yang paling tinggi dan umumnya terjadi di indonesia. Tidak hanya lagi membahas tentang kekuasaan dalam mendapatkan suatu hal yang di inginkan, melainkan sudah menjalar sampai pemenuhan barang dan meteri yang menurutnya memiliki nilai nominal yang tinggi.


Rasionalisasi dalam perspektif sosiologi
          Dalam perspektif sosiologis, maraknya tindakan korupsi yang terjadi di Indonesia ini bisa dikaji melalui pendekatan-pendekatan ilmiah. Meminjam istilah dari marx weber tentang verstehende atau teori tindakan rasional, alasan seseorang melakukan tindakan korupsi dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, tindakan yang dilakukan secara terukur dan rasional (zweck rational). Tentunya, masing-masing tindakan yang akan dilakukan oleh seseorang memiliki tujuan dan maksud tersendiri. Untuk bisa menjalankan aksinya, seseorang juga harus bisa memperhitungkan dan mempertimbangan secara matang tentang hasil kesusksesan yang akan akan diterimanya. Jika keberhasilan jauh lebih besar dibandingkan usaha dan resiko, maka sudah tentu bisa dipastikan seseorang tersebut memiliki peluang lebbih besar untuk melakukan dan berpengharapan sukses, tetapi jika sebaliknya maka hal tersebut akan berpengaruh pada niat dan usaha si pelaku. Dalam hal ini keberhasilan masa lalu juga memiliki peranan besar untuk seseorang melakukan suatu tindakan. Semakin sering sesorang memiliki keberhasilan di masa lalu maka juga semakin besar seoserang melakukan tindakan yang sama di masa yang akan datang. Dan hal itu sangat relevan dengan potret dan gambaran nyata pelaku tindak korupsi di Indonesia ini. Berbicara tentang keberhasilan masa lalu secara tidak langsung juga membahas alat dan kekuasaan negara. Dalam hal ini hukumlah yang menjadi fokus dalam pembahasan ini. Keberhasilan masa lalu diartikan sebagai proses hukum yang ada dalam suatu negara. Jika kenyataan bisa dibeli dengan materi apakah masih pantas kita berbicara hukum ? tentunya hukum tidak memihak kepada benar atau yang salah melainkan memihak kepada kenyataan yang ada. Dengan kata lain sistem dan kekuatan hukum di Indonesia belum secara optimal mengayomi dan melindungi kebenaran fakta dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. 

          Kedua, tindakan yang dipengaruhi oleh nilai (wert rational). Umumnya, nilai yang berkembang di masyarakat merupakan hasil kesepakatan bersama dalam hal kebaikan yang berisikan nilai spiritual, moral dan etika. karena ditempa dari proses yang panjang dalam memperkenalkan norma sosial di kehidupan kita sehari-hari, hal tersebut kemudian membentuk suatu kebiasaan dan menjadikan itu sebagai identitas masyarakat Indonesia. Misalnya saya hendak pergi kesuatu tempat dengan menggunakan moda transportasi umum, di tengah perjalanan ada seorang nenek-nenek atau wanita hamil. Maka sudah menjadi sikap saya untuk memberikan tempat duduk yang seharusnya saya duduki meskipun sama-sama membayar dan memiliki hak yang sama. Di sinilah penjelasan dari nilai tersebut. Tetapi yang saat ini menjadi persoalan adalah, kesepakatan untuk menggunakan nilai-nilai yang negatif sebagai upaya untuk memperkaya atau menguntungkan diri sendiri. Seiring berjalannya waktu, perubahan dan perkembangan masyarakatnya pun juga bergeser menuju perkembangan masyarakat yang baru. Entah dengan kebiasaanya, gaya hidupnya atau pemikirannya. Hal inilah tampaknya yang juga mempengaruhi nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat untuk bisa melakukan upaya pemenuhan kebutuhan diri sendiri dengan mengambil hak orang lain. Dengan kata lain, sikap dan tindakan yang dilakukan oleh koruptor merupakan akumulasi dari kebiasaan yang salah dalam memaknai nilai-nilai sosial yang berkembang di masyarakat luas. Dan kebiasaan tersebut semakin berjaya karena didukung oleh sistem hukum dan kontrol masyarakat yang lemah.
           Ketiga, tindakan yang dipengaruhi oleh emosi atau perasaan (affectual). Emosi atau perasaan merupakan sebuah intuisi yang dimiliki oleh masing-masing individu untuk menggambarkan maksud dan keinginan tertentu yang bersumber dari nurani. Emosi atau perasaan bisa dianalogikan sebagai tentakel yang sangat sensitif karena menerima perubahan dari lingkungannya. Begitu pula dengan  tindakan yang dilakukan oleh seseorang baik dalam konteks baik atau buruk, salah atau benar. Selain dari rasional dan nilai yang berkembang di masyarakat luas, faktor emosi atau perasaan juga turut memberikan sumbangan terbesar dalam memunculkan suatu tindakan. dan yang terakhir adalah traditional. Yaitu tindakan yang dilakukan berdasarkan kepercayaan atau mitos yang berkembang di lingkungan sekitar orang tersebut berada. Mistos, merupakan bentuk komunikasi yang tidak mementingkan objektivitas dan kebenaran dari kenyataan, melainkan sebuah komunikasi yang hanya menginginkan berjalannya aturan dan perintah yang dibentuk sebelumnya tanpa ada perubahan sedikitpun. Dalam hal ini, tindakan korupsi yang dilakukan oleh oknum juga dpengaruhi oleh adanya stigma sebelumnya bahwa penguasa yang pintar adalah penguasa yang bisa memanfaatkan power dan keduduknya termasuk dalam upaya pemenuhan kebutahan pribadi meskipun dilakukan dengan cara yang tidak sah. Hal tersebut bisa saja terjadi karena pelaku korupsi menganggap capaian yang diperoleh saat ini tidak lain dan tidak bukan merupakan hasil usaha pada waktu pencalonan kampanye dulu, dan ditempatkan sebagai upaya untuk mengganti kerugian atas pengorbanan yang sudah di lakukan. Sehingga secara general tujuan dan tindakan yang dilakukan oleh koruptor bukan pada pengabdian atas negara, melainkan rasioanalisasi dari kepentingan pribadi yang dilengkapi dengan kalkulasi untung rugi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

unggulan

pembelajaran yang efektif adalah pembelejaran yang diterapkan secara nyata

random posts

featured video

Recent Posts

Total Tayangan Halaman

362

Label Cloud